30.9.10

L word

I should know the L word - ahead of time. Until now, no matter how, I still can't read it. I can only guessing until it's time to present a piece of time what ever passes in this mind.

in the air tonight

Kosong. Ternyata begini rasanya kalau kamu nggak ada. 


Apa memang begitu?



...
...
well, if you told me you were drowning

I would not lend a hand
I've seen your face before my friend

But I don't know if you know who I am
Well, I was there and I saw what you did
I saw it with my own two eyes

So you can wipe off the grin, I know where you've been
It's all been a pack of lies...



Rasanya tertawar. Pedihnya malam ini bisa dilupakan. 
Sementara.


The hurt doesn't show; but the pain still grows
It's no stranger to you or me
And I can feel it coming in the air tonight, Oh Lord...


***
Rasakanlah frustasiku, jengahku tak berkesampaian, betapa ingin aku menciptakan kita. 


(sms lo, seminggu lalu, sebelum lo ngilang gak berkabar)

18.9.10

The Heart is a Lonely Hunter



Driven by a desperate hunger
To the dark of the neon light
Oh, the heart is a lonely hunter
When there's no sign of a love in sight

Couldn’t say more. Tears are absolutely the words. Too bad, all I want is now reincarnate as Purslane Hominy Will. 




the frog (cries out) :  why did you sting me,mr.scorpion?for now we both will drown.
scorpion (replies) :  i can't help it.  its in my nature.
Still The Same Game, Crying Game

69 : 2

Entah berapa lama saya habiskan waktu untuk menari di kamar mandi. Tiba-tiba saja waktu berputar dan berhenti tanpa ketukan (bahkan jarum-jarum jam pun memutuskan untuk melepaskan diri dari sambungan ketimbang harus berjudi dengan segala kemungkinan ). 

Saya terhempas ke tembok toilet dengan napas tak beraturan. Orkestra di bawah kulit tak terdengar lagi. Gantinya sunyi. Lelah. Oh, lelahnya.

Saya melirik kilas bayangan ini di kaca. Seperti … habis bercinta. Rambut acak-acakan, tanpa kemeja, hanya bra. Dan wajah, inilah yang sulit diajak berdusta. Rona yang menandakan kemunculan gairah sudah tergantikan oleh kemilau aura terpuaskan, tenang, ketercapaian. Lihat, beberapa titik keringat merembesi sisi-sisi kening, leher dan dada.

Saya tempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara. Hm, tak ada. Tak ada ?! Memang sekarang jam berapa ? Waduh… jarum arloji saya patah!  Karena … apa tadi, ah ya, tak kuat berjudi dengan segala kemungkinan.

Saya membuka pintu toilet. Sunyi dan gelap di mana-mana. Saya mengarahkan pandang ke panggung yang porak poranda. Lampu sorot masih menyala. Menerangi sosok bertelanjang dada yang tengah meringkuk di tengah-tengah. Seperti melindungi dirinya dari serangan. Dan lampu sorot yang entah sengaja atau tidak melingkari wilayahnya, seolah menegaskan betapa tak ada seorang pun yang mampu memasuki dia, saat ini.

Seperti batas suci.

Dan dia mengangkat wajah. 
Dan matanya menemukan. Saya. 
Dan semua, selanjutnya, terjadi di luar kuasa.


Memangnya kapan kaki saya melangkah menyeberangi batas suci??

Tiba-tiba saja tubuh kami saling bertaut, mendekatkan jarak masih dalam bisu yang dengan terang menjelaskan segala-galanya. Dua aroma keringat yang berbeda namun mengikat, mata yang sibuk meluapkan perasaan rindu kangen sebal dan lain-lainnya …  segala ledakan itu !

Tanpa perjanjian sebelumnya, serempak tubuh kami saling merapat, menghentak, meruntuhkan pertanyaan. Tak ada lagi yang meragukan, semua dipasrahkan. Di saat kebersatuan kedua tubuh itu tak terelakkan, perlahan-lahan dinding-dinding dan atap merindukan permukaan tanah. Semua gugur, berderak menghimpun gemuruh, pada merontok (seperti nelayan Urashima yang ingin memiliki impian sang putri kahyangan seutuhnya) dan meluncur turut pada gravitasi di atas permukaan bumi.

Semua gugur melebur, dari bangunan menjadi puing, dari puing jadi debu. Debu mengubur keduaan yang sampai kapan pun tidak bakal pernah lagi acuh pada apa pun itu perubahan, disamping hal-hal seputar mabuk, larut, dan kegilaan-kegilaan lainnya.

Sudahlah !

69 : 1

Aku membanting pintu toilet. Napas ini memburu. Astaga, sebegitu hebatnyakah kasmaran ? Aku meraba dada. Terasa sesak, naik turun permukaannya, mengiring naik turun bahunya. Aku menatap cermin di depannya. Seperti diejek. Ya, seperti mengejek.

Lihat, wajahmu merona. Ada semburat tak terkendali pada kisi-kisi pipimu yang halus. Merah kesumba, licin seperti kelambu sutra di kamar menakung nenekmu di tanah Sumatra, melapis gemilang wajahmu dibuai khayal dan harapan. Hidungmu kembang kempis seiring naik turunnya perasaan. Kau melihat, berpapasan, tanpa pernah mendapatkan tatapan, itu pun sudah cukup membuat kedua lubang hidungmu membesar. Karena nafasmu berpacu tak karuan. Karena rasa itu ngos-ngosan mendaki puncak hatimu. Aku, Aku. Dan terakhir, ini yang paling indah, terindah dari seluruh pergeseran elemen-elemen kecil dari tubuhmu, matamu, Aku. Matamu binarnya mengalahkan bintang, memaksa tunduk lampu-lampu jalanan.

Di depan kaca, Aku terpaku. Aku memejamkan mata, berusaha meredakan degup yang berpusat di dada. Ada takbir yang lamat namun nyata. Ini cinta, ya ini cinta. Agak takut menyaksikan bayangannya sendiri, begitu besar perubahannya. Ini aku yang lain. Aku yang dulu, tidak begini. Tidak, ya … hati ini ribut mendebat diri. Aku pun mendekati kaca. Meraba pantulan bibir. Merah, padahal sama sekali tidak memakai pemerah bibir. Ah, cinta memang piawai mewarnai wajah.

Barusan, di luar sana, ada dia. Sedang menuju panggung. Bahu kami tadi bersentuhan. Sekilas. Tiba-tiba saja aku lepas.

Nyaris memeluk kamu, kalau saja ... sudahlah.

Perlahan aku membuka kancing blus, cukup tiga saja yang teratas. Aku memperhatikan dada. Kalau saja ada teman wanita yang masuk, pasti heran melihatku sendirian buka-buka dada. Habis, begitu itu enaknya berdua.

Kuperhatikan lebih seksama.

Ada titik kecil kemerahan di tengah, kecil, nyaris tak terlihat. Ujung jemariku meraba titik itu. Agak perih. Dan ternyata masih menyisakan sedikit darah.

Shit! What the f*** 

Aku nekat, Aku kalap. Tak peduli siapa yang bakal masuk toilet, blus kulepas sama sekali. Kini aku berdiri di depan kaca, hanya mengenakan rok mini, sepatu hak tinggi, dan bra tanpa tali. Gila, gumam Aku dalam hati. Aku memutar tubuh, berusaha mengintip punggung yang setengah telanjang. Titik kecil yang sama, kemerahan, di posisi yang sejajar dengan titik di dada. Aku terkesiap, menggeleng-geleng antara takjub dan berusaha tidak terima.

( Duh, kamu sudah menembusku … )

Di luar sana, gelegar musik mengguncangkan. Pilar-pilar runtuh bergulingan, para kaca rontok berguguran, dan tubuh-tubuh – laki perempuan – menari, menggoda, bersinggungan dan saling menyambarkan api. Tangan meremas, lidah menjelajah, api di mana-mana, sementara di dalam toilet, di dunia yang persegi ini, aku direpotkan dengan sengatan asmara menembus dada.



Perlahan blus kukenakan lagi, sambil tak henti bertanya-tanya, adakah itu guruh gemuruh yang di luar sana, masuk ke dalam dunia ini karena… bukankah toilet di klub ini kedap suara ? Aku menajamkan telinga. Lamat terdengar. Ternyata bukan dari luar sana. Aku terhenyak, lalu menempelkan lengannya ke telinga. Guruh makin gemuruh. Guruh makin gemuruh.

Astaga !

Aku nyaris melemparkan lenganku sendiri saking kagetnya. Ternyata dari bawah kulitku sendiri ! Aku menutup mulut. Balian! Setelah sengatmu menembus dada, kini ada pula lanjutnya, di bawah kulitku, aliran darah ini kau buat orkestra…

Aku menari-nari di depan kaca. Di dalam toilet. Beberapa orang petugas cleaning service batal masuk melihat polah ini. Maklum, lagi jatuh cinta, satu di antara lainnya memaklumi. Mereka menyingkir perlahan-lahan, cekikikan satu dua.

Sementara aku terus menari.

Hanya dibalut rok mini, sepatu hak tinggi dan bra tanpa tali.
Boy, you're too sexy.
Only in nightmare I can resist you.


Gue nggak peduli. Ini kimiawi.

Gue tau ngedeketin diri ke elo sama aja bunuh diri. Gue udah diingetin, beberapa temen udah bilang kalo lo nggak sendiri lagi. Halah, itu kelewat alus. Lo dah mau kewong, gilingan! Calon bini lo karyawati. Wanita sejati. Gawat, kenyataan itu nggak bikin gue bisa ngejauhin lo. Lo juga bukannya buruan jauhin gue. Soalnya, selain itu, lo dan gue sama-sama gak punya alesan kenapa kita harus saling melipir.

Nggak pernah ada niat dari gue buat ngerusak hidup lo.

Tapi apa lo pernah punya niat ngerusak perasaan gue?

Gue nggak peduli. Ini kimiawi.

15.9.10

Siapa yang butuh kata-kata ? Aku sedang tidak, kurasa kau pun begitu. 


Aku lebih penting menyentuhmu, menarik lenganmu agar kau tak lagi sejauh itu. 
Aku lebih penting menggerayangi wajahmu.
Aku lebih penting merangkulmu, menindas tulang-tulangmu dengan lenganku, agar kau bisa melepaskan kata cinta itu dengan bahasa yang lain dari biasanya, sepotong keluhan, rintihan atau erangan barangkali. 



So, close your eyes 
and think of someone 
                     you physically admire
And let me kiss you
Let me kiss you

(Morrisey)       

13.9.10

Been thinking about you, your record is a hit
Your eyes are on my wall, your teeth are over there
But I'm still no one, and you're not a star


WHAT DO YOU CARE ?


(Thinking About You - Radiohead)

Hello, stranger.

Nyaris tengah malam.

Susah payah aku bersimpuh mengamankan jari-jari kakiku yang telanjang dari jilatan dingin. Percuma. Dingin tetap saja menggerayangiku.

Sepertinya ada seseorang di sudut gelap. Dan entah kenapa, saat itu di luar kebiasaanku, aku ingin tahu. 


Ya, memikat.

Untung, untungnya, di tangan ini terselip sebatang rokok yang belum menyala. 

Dan di atas pendaran nyala korek api, untuk pertama kalinya aku melihat wajahmu. Ada rasa ngilu menggoda ketika menyambut matamu. Hangat pendaran menyentuh kulit wajah - dari api yang kau sodorkan.

Aku mengangkat wajah. Dengan rokok yang sudah menyala.

"Thanks." 

Barangkali karena itu.
Barangkali karena itulah napas ini terasa tidak begitu semestinya.


Jude : Hello, stranger. 
Crying Game, 1992


Setiap orang adalah pelacur bagi kekasihnya.

Dan siapa laki-laki ? Haruskah saya coba menjelaskan, walau ada 1 kalimat kunci : saya bukan laki-laki ?
Juga, siapa memangnya perempuan ? Haruskah saya ikut-ikut menambah definisi, walau ada 1 tuntutan yang tak terelakkan : bagaimanapun juga, saya perempuan ?  

Ah, kalimat itu hanyalah sepenggal dari keputusasaan saya yang tercatat pada kisah percintaan saya yang kesekian. Dan biasanya catatan seperti itu bisa menjadi bacaan-bacaan asyik tatkala sudah berpuluh hari berlalu, di tengah malam sudah tentu. Seperti malam itu, saya duduk di hadapan monitor, lalu membuka satu file yang sudah sangat uzur, isinya apalagi kalau bukan kenangan.