18.9.10

69 : 2

Entah berapa lama saya habiskan waktu untuk menari di kamar mandi. Tiba-tiba saja waktu berputar dan berhenti tanpa ketukan (bahkan jarum-jarum jam pun memutuskan untuk melepaskan diri dari sambungan ketimbang harus berjudi dengan segala kemungkinan ). 

Saya terhempas ke tembok toilet dengan napas tak beraturan. Orkestra di bawah kulit tak terdengar lagi. Gantinya sunyi. Lelah. Oh, lelahnya.

Saya melirik kilas bayangan ini di kaca. Seperti … habis bercinta. Rambut acak-acakan, tanpa kemeja, hanya bra. Dan wajah, inilah yang sulit diajak berdusta. Rona yang menandakan kemunculan gairah sudah tergantikan oleh kemilau aura terpuaskan, tenang, ketercapaian. Lihat, beberapa titik keringat merembesi sisi-sisi kening, leher dan dada.

Saya tempelkan telinga ke pintu, mencoba menangkap suara. Hm, tak ada. Tak ada ?! Memang sekarang jam berapa ? Waduh… jarum arloji saya patah!  Karena … apa tadi, ah ya, tak kuat berjudi dengan segala kemungkinan.

Saya membuka pintu toilet. Sunyi dan gelap di mana-mana. Saya mengarahkan pandang ke panggung yang porak poranda. Lampu sorot masih menyala. Menerangi sosok bertelanjang dada yang tengah meringkuk di tengah-tengah. Seperti melindungi dirinya dari serangan. Dan lampu sorot yang entah sengaja atau tidak melingkari wilayahnya, seolah menegaskan betapa tak ada seorang pun yang mampu memasuki dia, saat ini.

Seperti batas suci.

Dan dia mengangkat wajah. 
Dan matanya menemukan. Saya. 
Dan semua, selanjutnya, terjadi di luar kuasa.


Memangnya kapan kaki saya melangkah menyeberangi batas suci??

Tiba-tiba saja tubuh kami saling bertaut, mendekatkan jarak masih dalam bisu yang dengan terang menjelaskan segala-galanya. Dua aroma keringat yang berbeda namun mengikat, mata yang sibuk meluapkan perasaan rindu kangen sebal dan lain-lainnya …  segala ledakan itu !

Tanpa perjanjian sebelumnya, serempak tubuh kami saling merapat, menghentak, meruntuhkan pertanyaan. Tak ada lagi yang meragukan, semua dipasrahkan. Di saat kebersatuan kedua tubuh itu tak terelakkan, perlahan-lahan dinding-dinding dan atap merindukan permukaan tanah. Semua gugur, berderak menghimpun gemuruh, pada merontok (seperti nelayan Urashima yang ingin memiliki impian sang putri kahyangan seutuhnya) dan meluncur turut pada gravitasi di atas permukaan bumi.

Semua gugur melebur, dari bangunan menjadi puing, dari puing jadi debu. Debu mengubur keduaan yang sampai kapan pun tidak bakal pernah lagi acuh pada apa pun itu perubahan, disamping hal-hal seputar mabuk, larut, dan kegilaan-kegilaan lainnya.

Sudahlah !

No comments:

Post a Comment