18.9.10

69 : 1

Aku membanting pintu toilet. Napas ini memburu. Astaga, sebegitu hebatnyakah kasmaran ? Aku meraba dada. Terasa sesak, naik turun permukaannya, mengiring naik turun bahunya. Aku menatap cermin di depannya. Seperti diejek. Ya, seperti mengejek.

Lihat, wajahmu merona. Ada semburat tak terkendali pada kisi-kisi pipimu yang halus. Merah kesumba, licin seperti kelambu sutra di kamar menakung nenekmu di tanah Sumatra, melapis gemilang wajahmu dibuai khayal dan harapan. Hidungmu kembang kempis seiring naik turunnya perasaan. Kau melihat, berpapasan, tanpa pernah mendapatkan tatapan, itu pun sudah cukup membuat kedua lubang hidungmu membesar. Karena nafasmu berpacu tak karuan. Karena rasa itu ngos-ngosan mendaki puncak hatimu. Aku, Aku. Dan terakhir, ini yang paling indah, terindah dari seluruh pergeseran elemen-elemen kecil dari tubuhmu, matamu, Aku. Matamu binarnya mengalahkan bintang, memaksa tunduk lampu-lampu jalanan.

Di depan kaca, Aku terpaku. Aku memejamkan mata, berusaha meredakan degup yang berpusat di dada. Ada takbir yang lamat namun nyata. Ini cinta, ya ini cinta. Agak takut menyaksikan bayangannya sendiri, begitu besar perubahannya. Ini aku yang lain. Aku yang dulu, tidak begini. Tidak, ya … hati ini ribut mendebat diri. Aku pun mendekati kaca. Meraba pantulan bibir. Merah, padahal sama sekali tidak memakai pemerah bibir. Ah, cinta memang piawai mewarnai wajah.

Barusan, di luar sana, ada dia. Sedang menuju panggung. Bahu kami tadi bersentuhan. Sekilas. Tiba-tiba saja aku lepas.

Nyaris memeluk kamu, kalau saja ... sudahlah.

Perlahan aku membuka kancing blus, cukup tiga saja yang teratas. Aku memperhatikan dada. Kalau saja ada teman wanita yang masuk, pasti heran melihatku sendirian buka-buka dada. Habis, begitu itu enaknya berdua.

Kuperhatikan lebih seksama.

Ada titik kecil kemerahan di tengah, kecil, nyaris tak terlihat. Ujung jemariku meraba titik itu. Agak perih. Dan ternyata masih menyisakan sedikit darah.

Shit! What the f*** 

Aku nekat, Aku kalap. Tak peduli siapa yang bakal masuk toilet, blus kulepas sama sekali. Kini aku berdiri di depan kaca, hanya mengenakan rok mini, sepatu hak tinggi, dan bra tanpa tali. Gila, gumam Aku dalam hati. Aku memutar tubuh, berusaha mengintip punggung yang setengah telanjang. Titik kecil yang sama, kemerahan, di posisi yang sejajar dengan titik di dada. Aku terkesiap, menggeleng-geleng antara takjub dan berusaha tidak terima.

( Duh, kamu sudah menembusku … )

Di luar sana, gelegar musik mengguncangkan. Pilar-pilar runtuh bergulingan, para kaca rontok berguguran, dan tubuh-tubuh – laki perempuan – menari, menggoda, bersinggungan dan saling menyambarkan api. Tangan meremas, lidah menjelajah, api di mana-mana, sementara di dalam toilet, di dunia yang persegi ini, aku direpotkan dengan sengatan asmara menembus dada.



Perlahan blus kukenakan lagi, sambil tak henti bertanya-tanya, adakah itu guruh gemuruh yang di luar sana, masuk ke dalam dunia ini karena… bukankah toilet di klub ini kedap suara ? Aku menajamkan telinga. Lamat terdengar. Ternyata bukan dari luar sana. Aku terhenyak, lalu menempelkan lengannya ke telinga. Guruh makin gemuruh. Guruh makin gemuruh.

Astaga !

Aku nyaris melemparkan lenganku sendiri saking kagetnya. Ternyata dari bawah kulitku sendiri ! Aku menutup mulut. Balian! Setelah sengatmu menembus dada, kini ada pula lanjutnya, di bawah kulitku, aliran darah ini kau buat orkestra…

Aku menari-nari di depan kaca. Di dalam toilet. Beberapa orang petugas cleaning service batal masuk melihat polah ini. Maklum, lagi jatuh cinta, satu di antara lainnya memaklumi. Mereka menyingkir perlahan-lahan, cekikikan satu dua.

Sementara aku terus menari.

Hanya dibalut rok mini, sepatu hak tinggi dan bra tanpa tali.

No comments:

Post a Comment